Mempopulerkan Pendidikan Hati


Persoalan fundamental yang dihadapi masyarakat modern seperti keterpecahan individu (split individuality), keterasingan alienation memicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan secara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat transendental. Dalam kondisi seperti itu, lahir Spiritual Quotient (SQ) yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan persoalan nilai agar hidup manusia menjadi lebih bermakna. SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia yang digunakan sebagai landasan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ merupakan kecerdasan diri manusia yang terdalam dan merupakan inteligensi yang dapat menampilkan sikap kreatif dalam memecahkan problem makna hidup seseorang, memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku, dan kemampuan untuk mengadakan perubahan terhadap situasi tersebut (Danah Zohar, 2000: 4).
Meskipun membicarakan dimensi spiritual manusia, tetapi SQ tidak berkaitan dengan agama. SQ membuat agama menjadi "mungkin" diperlukan dan "mungkin" juga tidak, karena SQ tidak tergantung pada agama. Bagi sebagian orang, SQ menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin tinggi rendahnya SQ. Banyak ditemukan orang tidak taat beragama memiliki SQ tinggi. Kehadiran SQ Danah Zohar dan kesadaran spiritualitas Barat yang bertujuan untuk mengobati "kekeringan" spiritual manusia tidak dapat berperan optimal tanpa sentuhan keagamaan dan ketuhanan. SQ tersebut malah dapat menimbulkan "penyakit psikologis" baru yang lebih kompleks. SQ tanpa agama juga dapat menjadi legitimasi bagi orang-orang yang selama ini tidak taat beragama, tetapi “mengaku” berakhlak baik.
Sudah sewajarnya umat Islam memberikan nuansa spiritual yang dimilikinya ke dalam SQ tersebut. Dalam pandangan Islam, manusia memiliki dua aspek yaitu material (jasmani/badan) dan spiritual (ruhani/jiwa). Ilmuwan Islam yang banyak membahas tentang spiritual manusia adalah al-Ghazali. Dalam Mi‘raj al-Salikin, ia berpendapat bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap yaitu nafs (jiwa) sebagai substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat, dan merupakan tempat pengetahuan intelektual. Selain nafs, dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali juga menggunakan istilah qalb (hati), ruh, dan aql (akal). Keempatnya bersifat latifat rabbaniyah yakni sesuatu yang halus yang berasal dari unsur ketuhanan sebagai esensi manusia (Al-Ghazali, 1991:4-5).
Nafs mempunyai potensi menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan tercela karena di dalamnya terhimpun amarah dan nafsu syahwat. Akal mempunyai kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, bahkan menerima pengetahuan dari Tuhan tanpa melalui proses berfikir. (Muhammad Yasir Nasution, 2002: 4). Ruh tidak banyak dibicarakan oleh al-Ghazali, karena merupakan rahasia Allah dan akal tidak mempunyai kemampuan untuk memahaminya.
Menurut al-Ghazali, hati sebagai acuan yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan ruhani. Hati ibarat sebuah kaca yang mencerminkan segala sesuatu di sekelilingnya. Jika hati ini ada dalam situasi yang kacau, maka hati menjadi mendung dan gelap oleh perbuatan-perbuatan dosa. Akibatnya, seseorang mengalami perasaan-perasaan negatif dan menjadi kurang cerdas secara emosional dan spiritual yang biasanya disebut  dengan “penyakit hati.” Namun, hati bisa "bolak-balik" mengikuti  bisikan malaikat, bisikan setan, dan bisikan nafsunya sendiri. Hatilah yang mengetahui, mendekat dan berbuat karena Allah. Melalui hatinya, manusia menemukan kesadaran ketuhanan yang berpengaruh kepada kesadaran moral dan sosialnya.
Pendidikan Qalbiyyah
Pengembangan potensi spiritual manusia dilakukan melalui pendidikan qalbiyyah yakni pendidikan yang berusaha untuk mengembangkan al-qalb sebagai pusat spiritual manusia. Tujuan utama pendidikan qalbiyyah menurut al-Ghazali adalah untuk kesempurnaan jiwa. Namun, selama ini pendidikan, telah melupakan dimensi spiritual manusia. Mochtar Buchori sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menilai pendidikan agama Islam hanya memperhatikan aspek kognitif semata, tidak menumbuhkan kesadaran beragama, dan mengabaikan aspek afektif (Muhaimin et. al, 2004: 88). Kelemahan ini disebabkan karena pendidikan Islam banyak dipengaruhi trend pendidikan Barat yang mengutamakan pengajaran daripada pendidikan moral. Padahal saat ini model pendidikan Barat yang lahir pada zaman revolusi industri merupakan pendidikan tradisonal (Paulo Freire, 1999: 164-165) dan kadaluarsa. Bahkan apabila terus dilaksanakan dapat menimbulkan bencana berskala nasional dan internasional (Gordon Dryden dan Jeanette Vos, 1999: 31).
Oleh karena itu, menghadirkan kembali pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan qalbiyyah merupakan langkah yang tidak berlebihan. Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan al-nafs, al-ruh, al-qalb, dan al-’aql, yakni agar nafs menjadi al-nafs al-muthmainnah, melatih akal sampai ke al-‘aql mustafad, dan membuat al-qalb sebagai tempat meyakini Allah. Pengembangan potensi tersebut dilakukan melalui tazkiyah (pensucian), baik tazkiyah al-nafs, tazkiyah al-qalb, maupun tazkiyah al-‘aql.
Dari ketiga metode tersebut, tazkiyah al-nafs belum banyak diterapkan. Tazkiyah al-‘aql dilakukan melalui pengembangan kemampuan berpikir peserta didik, baik dengan mempelajari pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Tazkiyah al-qalb dilakukan dengan meningkatkan amal ibadah siswa yang biasanya dilakukan dengan shalat berjama'ah, kegiatan pesantren Ramadan, dan pengajian di sekolah.
Pengoptimalan tazkiyah al-nafs dilakukan dengan melatih siswa untuk senantiasa bermuhasabah (intospeksi diri) dengan melakukan pencatatan kegiatan sehari-hari dalam buku harian. Buku harian siswa didasari adanya malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan manusia sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Ra'd/13:11, al-Zukhruf/43:80, al-Jatsiyah/45: 29, al-Qaf/50: 4 dan 17, al-Qamar/54: 52, al-Mujadilah/58:6, al-Infithar/82: 11.  Amal buruk tersimpan di dalam sijjin sedangkan amal baik disimpan dalam  'Illiyyin Q.S. al-Muthaffifin/83:7 dan 18.
Banyaknya ayat al-Qur'an yang menjelaskan tentang pencatatan amal perbuatan manusia, mengindikasikan betapa urgennya buku harian bagi pengembangan kecerdasan spiritual manusia. "Buku harian siswa" telah dilupakan oleh guru. Selama ini, buku harian hanya digunakan dalam kegiatan Ramadan yang berisi catatan ibadah siswa, tanpa disertai catatan perbuatan dosa atau kesalahannya. Untuk mengembangkan tazkiyah al-nafs, perbuatan baik dan buruk dicatat dengan imbang, serta diberi penjelasan penyebab perbuatan dilakukan. 
Dengan pencatatan kedua perbuatan tersebut, siswa menjadi tahu berapa amal baik yang mereka lakukan dan berapa amal buruk dalam setiap harinya. Melalui buku harian tersebut, guru dapat mengetahui perkembangan kepribadian siswanya dan mengarahkan mereka agar selalu berakhlak karimah dan menjadi insan yang bertakwa.


Komentar