Pemberian Azka

Mandiri

“Diva pelit, Diva pelit…!” umpat Azka ketika sampai di rumah.
“Wah…! Belum memberi salam kok sudah marah-marah. Ada masalah apa dengan Diva?” Tanya ibunya.
“Masa, Diva tidak mau membagi air minum. Aku kan kehausan,” keluh Azka.
Azka pun bercerita bahwa setelah bertugas sebagai pemimpin upacara, ia sangat haus. Sedangkan air minumnya sudah habis ketika istirahat pertama. Itupun ia bagi-bagikan kepada teman yang memintanya, termasuk Diva. Tetapi, Diva tidak mau memberikan air minumnya ketika Azka membutuhkan.
“Tadi kamu juga minta air minumku,” kata Azka.
“Salah sendiri diberi. Makanya, jangan mau jadi ketua!” umpat Diva sambil memukul meja dan memasukkan air minumnya ke dalam tas.
Padalah dulunya Azka dan Diva teman akrab. Keduanya selalu berangkat dan pulang sekolah bersamaan. Begitu juga kalau pergi ke masjid di sore hari untuk mengaji. Namun setelah Azka terpilih sebagai pemimpin regu membuat Diva sakit hati sehingga ia tidak mau berbagi dengan Azka, juga dengan teman lainnya.
Bagi Diva pesta siaga tahun ini merupakan kesempatan terakhirnya untuk mengharumkan nama sekolah. Sebab tahun depan, ketika kelas VI, Diva sudah tidak bisa mengikuti pesta siaga. Diva dan siswa kelas VI lainnya harus konsentrasi menghadapi ujian nasional.
Kondisi ini membuat orangtua Azka dan Diva tertawa. “Begitulah anak kecil dalam bersaing,” kata Ibunya Diva.
“Bukan hanya anak kecil, anak SMA dan orangtua juga kadang seperti itu,” kata Ibunya Azka menambahi. Keesokan harinya keduanya telah mengatur strategi agar Azka dan Diva dapat akur kembali.

* * *
Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, namun udara masih cukup panas. Tim pesta siaga SD Negeri Banioro masih giat berlatih gerak jalan mengelilingi lapangan sekolah.
“Kiri…kiri…kiri…!” teriak Azka mengompakkan langkah teman-temannya sambil sesekali meniup peluit.
“Berhenti….grak…!” Perintah Azka yang dilanjutkan dengan membubarkan pasukan.
Setelah itu, setiap anak berlari ke kelas mengambil bekalnya masing-masing. Lalu, mereka makan bersama di taman sekolah. Sudah lebih sepuluh menit Diva tidak kelihatan. Sedangkan upacara penutupan akan segera dimulai. Azka pun sibuk mencari Diva. 
“Diva mana? Diva mana? Diva mana?”
Tanya Azka kepada teman-temannya.
“Riz..! Kamu tahu Diva?”
“Paling-paling dia lagi makan sendiri di kelas,”  jawab Rizki.
Sementara itu, di dalam kelas, Diva berulangkali menelan ludah untuk menghilangkan dahaga. “Kenapa Ibu lupa membawakan air minum. Aku haus sekali…!” Rintihnya sambil meletakkan kepala di atas meja. Ingin sekali Diva meminta minum kepada temannya. Namun jika teringat peristiwa kemarin, dia merasa malu.
Azka pun mencari Diva di dalam kelas. “Kenapa tidak bergabung dengan teman-teman? Tanya Azka sambil menghampiri Diva.
“Malu.”
“Minum kamu mana?”
“Lupa…,” jawab Diva dengan mata berkaca-kaca.
“Ya, sudah. Air minumku masih banyak!”
“Tapi…”
“Sudahlah… Ayo!” Ajak Azka sambil mengulurkan tangan.
Melihat keduanya berjalan bergandeng tangan, Rizki dan teman yang lainnya merasa heran.
“Oh…iya… tadi ibuku membawa kue untuk kalian semua,” kata Azka sambil membagi kue kepada teman-temanya. Diva pun senang sekali mendapat bagian. Apalagi ketika Azka memberikan juz mangga kesukaan Diva.
“Terima kasih, Az…! Kamu memang pantas jadi pemimpin regu. Maafkan aku, ya!”
“Sama-sama,” jawab Azka sambil merangkul Diva.
“Priiit….priiit…priiit..” Tiba-tiba Kakak Pembina meniup peluit tiga kali dengan kedua tangan lurus ke depan. Anak-anak memahami kode tersebut sebagai tanda kalau mereka harus membuat barisan.
“Kita harus melaksanakan upacara penutupan,” perintah Azka.
“Siap, Ndan!” kata Diva diikuti teman lainnya.  
Setelah upacara selesai, mereka berhamburan pulang. Di pintu gerbang sekolah, Ibunya Diva dan Azka datang menghampiri.
“Div…maafkan ibu. Tadi lupa membawakan bekal.”
“Tidak apa-apa, bu! Tadi Diva dikasih kue dan air minum oleh Azka.”
“Nah…begitulah sesama teman, harus saling berbagi makanan dan minuman. Saling membantu teman yang membutuhkan,” kata Ibunya Diva.
“Satu regu itu ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka yang lainnya juga ikut merasakan. Coba kalau kaki kalian tersandung batu. Mulutnya meringis kesakitan, meniup luka, dan berkata, Aduh! Tangannya memegang kaki dan mata juga ikut mengeluarkan air matanya,” imbuh Ibunya Azka.   
“Kalau tidak bersatu, bisa kalah di pesta siaga nanti.”
“Iya bu…! Jawab mereka kompak.
“Mari kita rayakan persahabatan ini dengan menyayi bersama!”
Dengan semangat baru mereka pulang sambil menyanyikan lagu sorak-sorak bergembira.

Komentar