
Meskipun membicarakan dimensi spiritual manusia, tetapi SQ
tidak berkaitan dengan agama. SQ membuat agama menjadi "mungkin"
diperlukan dan "mungkin" juga tidak, karena SQ tidak tergantung pada
agama. Bagi sebagian orang, SQ menemukan cara pengungkapan melalui agama
formal, tetapi beragama tidak menjamin tinggi rendahnya SQ. Banyak ditemukan
orang tidak taat beragama memiliki SQ tinggi. Kehadiran SQ Danah Zohar dan
kesadaran spiritualitas Barat yang bertujuan untuk mengobati
"kekeringan" spiritual manusia tidak dapat berperan optimal tanpa
sentuhan keagamaan dan ketuhanan. SQ tersebut malah dapat menimbulkan
"penyakit psikologis" baru yang lebih kompleks. SQ tanpa agama juga dapat menjadi legitimasi bagi
orang-orang yang selama ini tidak taat beragama, tetapi “mengaku” berakhlak
baik.
Sudah sewajarnya umat Islam memberikan nuansa spiritual yang
dimilikinya ke dalam SQ tersebut. Dalam pandangan Islam, manusia memiliki dua
aspek yaitu material (jasmani/badan) dan spiritual (ruhani/jiwa). Ilmuwan Islam
yang banyak membahas tentang spiritual manusia adalah al-Ghazali. Dalam Mi‘raj
al-Salikin, ia berpendapat bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang
tetap yaitu nafs (jiwa) sebagai substansi yang berdiri sendiri, tidak
bertempat, dan merupakan tempat pengetahuan intelektual. Selain nafs, dalam
Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali juga menggunakan istilah qalb
(hati), ruh, dan aql (akal). Keempatnya bersifat latifat
rabbaniyah yakni sesuatu yang halus yang berasal dari unsur ketuhanan
sebagai esensi manusia (Al-Ghazali, 1991:4-5).
Nafs mempunyai
potensi menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan tercela karena di dalamnya
terhimpun amarah dan nafsu syahwat. Akal mempunyai kemampuan untuk
memperoleh pengetahuan, bahkan menerima pengetahuan dari Tuhan tanpa melalui
proses berfikir. (Muhammad Yasir Nasution, 2002: 4). Ruh tidak banyak
dibicarakan oleh al-Ghazali, karena merupakan rahasia Allah dan akal tidak
mempunyai kemampuan untuk memahaminya.
Menurut al-Ghazali, hati sebagai
acuan yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan ruhani. Hati ibarat
sebuah kaca yang mencerminkan segala sesuatu di sekelilingnya. Jika hati ini
ada dalam situasi yang kacau, maka hati menjadi mendung dan gelap oleh
perbuatan-perbuatan dosa. Akibatnya, seseorang mengalami perasaan-perasaan
negatif dan menjadi kurang cerdas secara emosional dan spiritual yang biasanya
disebut dengan “penyakit hati.” Namun, hati
bisa "bolak-balik" mengikuti
bisikan malaikat, bisikan setan, dan bisikan nafsunya sendiri. Hatilah
yang mengetahui, mendekat dan berbuat karena Allah. Melalui hatinya, manusia
menemukan kesadaran ketuhanan yang berpengaruh kepada kesadaran moral dan
sosialnya.
Pendidikan Qalbiyyah
Pengembangan potensi spiritual manusia
dilakukan melalui pendidikan qalbiyyah yakni pendidikan yang berusaha
untuk mengembangkan al-qalb sebagai pusat spiritual manusia. Tujuan
utama pendidikan qalbiyyah menurut al-Ghazali adalah untuk kesempurnaan
jiwa. Namun, selama ini pendidikan, telah melupakan dimensi spiritual manusia.
Mochtar Buchori sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menilai pendidikan agama
Islam hanya memperhatikan aspek kognitif semata, tidak menumbuhkan kesadaran
beragama, dan mengabaikan aspek afektif (Muhaimin et. al, 2004: 88).
Kelemahan ini disebabkan karena pendidikan Islam banyak dipengaruhi trend
pendidikan Barat yang mengutamakan pengajaran daripada pendidikan moral.
Padahal saat ini model pendidikan Barat yang lahir pada zaman revolusi industri
merupakan pendidikan tradisonal (Paulo Freire, 1999:
164-165) dan kadaluarsa. Bahkan apabila terus
dilaksanakan dapat menimbulkan bencana berskala nasional dan internasional (Gordon
Dryden dan Jeanette Vos, 1999: 31).
Oleh karena itu, menghadirkan kembali
pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan qalbiyyah merupakan langkah yang
tidak berlebihan. Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan al-nafs,
al-ruh, al-qalb, dan al-’aql, yakni agar nafs menjadi al-nafs
al-muthmainnah, melatih akal sampai ke al-‘aql mustafad, dan membuat
al-qalb sebagai tempat meyakini Allah. Pengembangan potensi tersebut
dilakukan melalui tazkiyah (pensucian), baik tazkiyah al-nafs,
tazkiyah al-qalb, maupun tazkiyah al-‘aql.
Dari ketiga metode tersebut, tazkiyah
al-nafs belum banyak diterapkan. Tazkiyah al-‘aql dilakukan melalui
pengembangan kemampuan berpikir peserta didik, baik dengan mempelajari
pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Tazkiyah al-qalb dilakukan
dengan meningkatkan amal ibadah siswa yang biasanya dilakukan dengan shalat
berjama'ah, kegiatan pesantren Ramadan, dan pengajian di sekolah.
Pengoptimalan tazkiyah al-nafs dilakukan
dengan melatih siswa untuk senantiasa bermuhasabah (intospeksi diri)
dengan melakukan pencatatan kegiatan sehari-hari dalam buku harian. Buku harian
siswa didasari adanya malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan manusia
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Ra'd/13:11, al-Zukhruf/43:80,
al-Jatsiyah/45: 29, al-Qaf/50: 4 dan 17, al-Qamar/54: 52, al-Mujadilah/58:6,
al-Infithar/82: 11. Amal buruk tersimpan
di dalam sijjin sedangkan amal baik disimpan dalam 'Illiyyin Q.S. al-Muthaffifin/83:7 dan
18.
Banyaknya ayat al-Qur'an yang
menjelaskan tentang pencatatan amal perbuatan manusia, mengindikasikan betapa
urgennya buku harian bagi pengembangan kecerdasan spiritual manusia. "Buku
harian siswa" telah dilupakan oleh guru. Selama ini, buku harian hanya
digunakan dalam kegiatan Ramadan yang berisi catatan ibadah siswa, tanpa
disertai catatan perbuatan dosa atau kesalahannya. Untuk mengembangkan tazkiyah
al-nafs, perbuatan baik dan buruk dicatat dengan imbang, serta diberi
penjelasan penyebab perbuatan dilakukan.
Dengan pencatatan kedua perbuatan
tersebut, siswa menjadi tahu berapa amal baik yang mereka lakukan dan berapa
amal buruk dalam setiap harinya. Melalui buku harian tersebut, guru dapat
mengetahui perkembangan kepribadian siswanya dan mengarahkan mereka agar selalu
berakhlak karimah dan menjadi insan yang bertakwa.
Komentar
Posting Komentar